,

Mengenal Hak Cipta Sebagai Bentuk Cinta dari Hukum Terhadap Karya Seni

oleh -
oleh

HIDUP di Indonesia tak bisa lepas dari peran konsumtif sebagai pelaku utama pengguna barang atau komoditi yang sering kita jumpai sehari-hari. Sejauh kaki melangkah dan seluas mata memandang akan selalu bertemu dengan segala bentuk “ciptaan”. Kehidupan manusia terus bersaing dalam aspek membuat sesuatu yang baru layaknya anekdot yang mengatakan “apabila langit adalah ciptaan sang Pencipta sedangkan bumi dan seisinya buatan China”. Namun hal ini tak selamanya benar karena hak cipta memang pada hakikat dan secara harfiahnya berarti hak yang tercipta dari seorang pencipta, terlepas sudah terdaftar ataupun belum mengenai prioritas utama dari hal yang tercipta akan terikat dan terkait kepada sang pencipta, tapi kenapa sengketa kepemilikan ide dalam seni sering laku dipasaran?

Tak bisa dipungkiri bahwa copyright dan keamanan ciptaan selalu harus dijaga dan dilindungi agar tidak menjadi “santapan” renyah dari oknum lapar akan cuan. Lalu dimana letak pentingnya hak cipta dari orang yang menciptakan sesuatu? Kan sudah kita pakai atau gunakan, bukankah kita sudah menghargai bahkan memberi “Untung” kepada sang pencipta, lantas apalagi yang harus kita risaukan?

Pemahaman

Hak Cipta diatur dalam Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (Undang-Undang Hak Cipta). Di dalam pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta disebutkan bahwa “Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Di dalam UU Hak Cipta sendiri ternyata mengatur mengenai 2 macam hak, yaitu Hak Cipta dan Hak Terkait. Hak Terkait merupakan hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga Penyiaran. Hak Cipta melekat pada produk ciptaan sebagaimana diatur dalam pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta, antara lain lagu, novel, atau potret. Sedangkan hak terkait melekat pada produk ciptaan yang disiarkan atau ditayangkan sehingga produknya meliputi karya pertunjukan, karya rekaman, atau karya siaran. Pencatatan Hak Cipta yang ternyata tidak bersifat wajib seperti pendaftaran Hak Merek ataupun Paten, karena sejatinya Hak Cipta memiliki sifat automatic protection atau perlindungan yang secara otomatis muncul berdasarkan prinsip Deklaratif ketika suatu ciptaan diwujudkan dan dipublikasikan. Namun pencatatan ciptaan tetap dirasa perlu untuk memudahkan pembuktian sengketa Hak Cipta, dan memberi rasa aman bagi pemilik atau pemegang Hak Cipta.

Bentuk Cinta

Dalam rangka perwujudan “cinta” terhadap perlindungan atas ciptaan seseorang, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC). Hak cipta melindungi ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra (Pasal 1 angka 3 UUHC). Atas ciptaannya, pencipta memiliki 2 hak, yakni hak moral dan hak ekonomi (Pasal 4 UUHC). Hak moral adalah hak yang melekat seumur hidup pencipta untuk mempertahankan integritas dan/atau memberikan atribusi terhadap ciptaannya (Pasal 5 ayat (1) UUHC). Sedangkan, hak ekonomi adalah hak yang dimiliki pencipta selama 25, 50, atau 70 tahun (disesuaikan dengan jenis ciptaan) untuk menikmati segala manfaat ekonomi yang dapat diperoleh atas ciptaan tersebut (Pasal 8, 58, 59, dan 60 UUHC). Tentu dalam hal ini seorang pencipta ingin agar hasil ciptaannya mendapatkan perlindungan dan terhindar dari terjadinya kerugian di waktu yang akan datang.  Berdasarkan UUHC, tindakan yang termasuk ke dalam pelanggaran hak cipta adalah tindakan seseorang yang melanggar hak moral dan/atau hak ekonomi pencipta serta mendapatkan keuntungan atas penggunaan ciptaannya meskipun UUHC tidak secara tersurat menentukan sanksi yang dapat dikenakan atas pelanggaran hak moral. Akan tetapi, dalam Modul Kekayaan Intelektual Tingkat Dasar Bidang Hak Cipta edisi 2020 menyatakan bahwa untuk menggugat orang yang sengaja dan tanpa hak melanggar hak moral milik, pencipta dapat melakukan tuntutan ganti rugi atas pelanggaran tersebut ke Pengadilan Niaga. Sedangkan, untuk tindakan yang termasuk melanggar hak ekonomi adalah seseorang yang melaksanakan hak ekonomi pencipta tanpa sepengetahuan atau seizin pencipta (Pasal 9 ayat (2) UUHC).

Peran Masyarakat

Selayaknya manusia yang hidup di lingkungan masyarakat beradab hendaknya meningkatkan sense dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini tentunya untuk memperjelas bahwa konten yang ingin kita buat namun tak sengaja sama ataupun terinspirasi dari konten yang lain maka dapat dihapus sebagai tanggapan atas klaim pelanggaran hak cipta meskipun telah memberi kredit kepada pemilik hak cipta, menahan diri untuk tidak menghasilkan pendapatan/uang dari konten yang melanggar, membayar salinan konten yang dipermasalahkan, melihat konten serupa yang muncul di tempat lain di internet, membeli konten termasuk salinan digital atau salinan kerasnya, merekam konten untuk diri sendiri dari TV, bioskop, atau radio, menyalin konten untuk diri sendiri dari buku teks, poster film, atau foto, menyatakan bahwa “tidak bermaksud melakukan pelanggaran hak cipta”.
Dengan begitu, dapat dimaknai bersama bahwa penting sekali bagi masyarakat yang kesehariannya dikelilingi oleh penggunaan hak cipta untuk menghargai dan menghormati hak moral dan hak pencipta agar dalam pemanfaatannya tidak ada  yang dirugikan bagi kedua sisi pencipta dan pengguna. Maka dari itu perlu diperhatikan agar tidak terjerat hukum dalam kegiatan sehari-hari yang dinilai aman dari pelanggaran hak cipta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.