,

Pencabutan Larangan Ekspor CPO Diharapkan Jadi Solusi Bagi Petani Non Mitra di Sumsel

oleh -
oleh

BIN, PALEMBANG – Sejak Pemerintah resmi melarang ekspor minyak goreng dan turunannya termasuk CPO, sangat berimbas pada penghasilan petani di Sumatera Selatan (Sumsel), khususnya petani non mitra/swadaya.

Sebagaimana diketahui Produksi CPO Indonesia tahun 2021 sebesar 49,71 juta ton, ekspor 23,69 juta ton dan konsumsi dalam negeri 16,76 juta ton, atau surplus 9,25 juta ton.

Sementara industri di tanah air belum bisa menampung seluruh produksi CPO, sehingga terjadi penumpukan, surplus yang sangat besar dan berakibat tangki timbun/penampung di PKS rata rata hampir penuh

Hampir di seluruh Kabupaten dan kota penghasil sawit se-Indonesia termasuk di Sumsel, ada sekitar 104.779 Kepala Keluarga petani non mitra/swadaya yang terdampak langsung dari pelarangan ekspor CPO dan turunannya, hingga terjadi penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS)

Mata rantai pemasaran TBS non mitra melewati 2-3 agen pengumpul sampai ke PKS, sehingga harga beli anjlok antara 40% sampai 70%

Pada kondisi normal petani non mitra akan menjual kepada PKS yang membeli dengan harga lebih tinggi, namun sejak pelarangan ekspor agen menghentikan pembelian harga TBS karena risiko kerugian cukup tinggi.

Inilah awal petaka petani non mitra/swadaya yang terdampak langsung dari penghentian ekspor CPO dan turunannya, sementara petani plasma masih terlindungi harga TBS-nya, namun bila kondisi ini terus berlanjut maka pekebun mitra juga akan terdampak.

Hal tersebut dikarenakan kapasitas tangki timbun PKS akan penuh sehinga PKS tidak membeli TBS Pekebun lagi

Sebagaimana diketahui CPO di tangki timbun tidak bisa disimpan terlalu lama, karena akan menurunkan mutu. Peningkatan Asam Lemak bebas (ALB) sehingga harus diolah lebih lanjut.

Hingga akhirnya, pelarangan ekspor juga berdampak langsung kepada PKS, terutama di sentra sawit yang belum ada industri hilirnya.

Imbas lainnya adalah apabila PKS menghentikan pembelian TBS, maka petani tidak melakukan panen sawitnya lagi dan membiarkan TBS-nya busuk dan dapat merusak tanaman sawit dan berpengaruh ke produksi berikutnya.

Akibat jangka panjang dibutuhkan biaya dan waktu untuk perawatan tanaman sawit bila kondisi sudah normal. Apalagi saat ini harga pupuk sangat tinggi sehingga makin membuat petani sawit tambah terpuruk.

Solusi yang terbaik saat ini adalah komitment semua pemangku kepentingan dan pencabutan larangan ekspor, segera benahi tata niaga minyak goreng sehingga tercapai harga yang di inginkan pemerintah.

Selain itu, hilirisasi di seluruh provinsi penghasil sawit dengan menggunakan dana BPDPKS agar kejadian ini tidak berulang lagi.

Menyikapi kondisi tersebut, Analisis PSP Madya Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian mengungkapkan, pihaknya mengimbau agar PKS yg membeli TBS dari petani non mitra, tidak memberikan harga yg semena mena.

” Tapi untuk petani mitra akan ditindak tegas jika PKS membeli di bawah harga ketetapan,” ungkapnya, Selasa (17/5/2022).

Ia juga mengingatkan, di momentum harga rendah ini, petani non mitra segera membentuk KUD/Kelompok dan akan difasilitasi untuk bermitra dengan PKS terdekat.

“Langkah tersebut membuat petani non mitra akan mendapat kepastian harga serta PKS akan mendapatkan kepastian pasokan,” jelasnya.

Ia juga berharap, hal-hal yang dirasa merugikan petani non mitra tidak terjadi lagi. “Mudah mudahan dengan kemitraan ini harga yg tidak wajar yg diterima petani non mitra tidak terulang kembali,” pungkasnya. (brimus)