,

Mediasi Perkara Cerai Talak dengan Ketidakhadiran Tergugat di Pengadilan Agama

oleh -
oleh

DALAM sistem peradilan di Indonesia, mediasi diakui sebagai salah satu cara alternatif untuk penyelesaian sengketa. Ini tercermin dalam berbagai peraturan, termasuk Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2001 yang kemudian diubah menjadi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Peraturan ini merupakan implementasi dari Hukum Acara Perdata, yaitu Pasal 130 Herziene Indlandsch Reglemen (HIR) untuk wilayah Jawa dan Madura, serta Pasal 154 Rechtsreglemen voor den Buitengewesten (R.Bg) untuk wilayah di luar Jawa dan Madura. Pasal 130 HIR/154 RBG menegaskan bahwa untuk menjalankan hukum formil atau hukum acara perdata sebagaimana yang telah diatur dalam HIR/RBg, maka ditentukan bahwa hakim wajib untuk mengupayakan perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa.

Dalam situasi di mana pemohon (suami) hadir dalam sidang pertama, tetapi tergugat atau kuasanya tidak hadir, permohonan dapat diputuskan secara verstek jika termohon sudah dipanggil secara sah dan layak. Ini berarti bahwa meskipun termohon tidak hadir, pengadilan dapat mengabulkan permohonan pemohon jika alasan permohonannya beralasan dan tidak melanggar hukum. Namun, jika termohon tidak hadir lagi setelah dipanggil kembali tanpa alasan yang sah, dan pemohon tetap ingin melanjutkan proses hukum dan meminta agar permohonannya diputuskan, maka pengadilan dapat mengeluarkan putusan verstek. Dalam hal ini, keputusan akan dibuat meskipun termohon tidak hadir untuk membela dirinya.

Dalam proses hukum perceraian, jika termohon (istri) tidak hadir dalam sidang pengadilan dan hanya mengirimkan surat jawaban, surat itu tidak akan diperhatikan dan dianggap tidak pernah ada kecuali berisi eksepsi (bantahan) bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang mengadili, maka harus diperiksa oleh hakim dengan mendengar pemohon, bila eksepsi diterima, maka permohonan dinyatakan tidak diterima dengan alasan pengadilan tidak berwenang tetapi jika eksepsi ditolak karena menurut hakim pengadilan tersebut berwenang maka diputus dengan verstek. Putusan verstek yang dijatuhkan tanpa membuktikan dalil-dalil pemohon karena dianggap tidak dibantah termohon yakni dengan ketidakhadirannya. Akan tetapi, dalam perkara perceraian untuk menghindari kebohongan dan sandiwara dalam perceraian, sebelum diputus verstek dalil- dalil pemohon tetap harus dibuktikan, di samping juga melaksanakan asas Undang- Undang Perkawinan yang mempersulit terjadinya suatu perceraian.

Putusan verstek ini diberikan tanpa membuktikan dalil-dalil pemohon karena dianggap tidak dibantah termohon yakni dengan ketidakhadirannya. Akan tetapi, dalam perkara perceraian untuk menghindari kebohongan dan sandiwara dalam perceraian, sebelum diputus verstek dalil- dalil pemohon tetap harus dibuktikan, di samping juga melaksanakan asas Undang- Undang Perkawinan yang mempersulit terjadinya suatu perceraian.

Dalam sengketa persidangan perkawinan yang menghadapi ketidakhadiran salah satu pihak, terdapat dua pandangan yang terjadi terkait ketidakhadiran salah satu pihak dalam sidang pertama ketika akan diadakannya mediasi. yaitu pertama, jika salah satu pihak tidak hadir pada saat sidang pertama, maka persidangan ditunda untuk memanggil ulang pihak yang tidak hadir sebagaimana ketentuan pasal 127 HIR/151 RBg dan jika tetap tidak hadir, maka proses mediasi tidak dilakukan, begitu pula dalam hal perkara ghoib. Kedua, sidang ditunda untuk mediasi terlepas apakah kedua belah pihak hadir saat sidang pertama atau hanya salah satu pihak saja yang hadir. Pandangan kelompok kedua ini didasari pada pasal 2 ayat (3) dan (4) Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Berdasarkan wawancara dengan hakim mediator di Pengadilan Agama,  para hakim cenderung condong pada pendapat yang pertama yaitu jika salah satu pihak tidak hadir maka persidangan ditunda untuk memanggil ulang pihak yang tidak hadir dan jika tetap tidak hadir maka proses mediasi tidak dilakukan begitu pula dengan perkara ghoib.Kemudian di dalam amar putusannya disebutkan bahwa mediasi tidak layak dilakukan.

Tidak hanya itu saja, Kesulitan keberhasilan dalam mediasi terdapat faktor imateriil yang turut di dalam perceraian. Menurut Hakim Mediator Pengadilan Agama , Kesulitan keberhasilan dalam mediasi memang sulit sekali berhasil, karena hal ini menyangkut urusan hati. Jika hati sudah tersakiti maka akan sulit sekali untuk diobati. Dari aspek efektifitas persidangan menjadi dipertanyakan bila menilik keadaannya mediasi ini khususnya terkait perkara perceraian. Sementara itu, jika dilihat alasan Mahkamah Agung dalam memberlakukan mediasi ini yaitu salah satunya agar terwujudnya peradilan yang cepat dan murah serta agar tidak terjadi penumpukan perkara dalam jumlah besar di Mahkamah Agung, maka dengan fakta yang ditemukan di dalam perkara perceraian tidak menunjukkan hal yang demikian karena proses mediasi yang berakhir dengan gagal berdamai

Selanjutnya adanya Faktor yang menjadi penyebab enggannya para pihak untuk melakukan mediasi dengan dibantu oleh mediator selain hakim adalah biaya yang bertambah jika menggunakan mediator di luar hakim. Sementara untuk hakim mediator sendiri tidak ada penambahan biaya yang dibebankan kepada para pihak, meskipun ada intensif yang diberikan bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator seperti yang terdapat dalam Pasal 25 ayat (1) dan (2) Perma Nomor 1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan intensif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator, maka Mahkamah Agung menerbitkan Perma tentang kriteria keberhasilan hakim dan intensif bagi hakim yang menjalankan fungsi mediator. Bagi mediator di luar hakim tidak ada batasan berapakah intensif dikenakan, hanya disebutkan dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Honorarium Mediator bahwa uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak.

Menyikapi hal ini, sebagai solusi dari kegagalan proses mediasi, disarankan agar semua pihak diwajibkan untuk hadir pada sidang mediasi dan tidak diperbolehkan diwakili oleh kuasa hukum. Hal ini penting mengingat pentingnya pelaksanaan mediasi menurut Perma, yang mengamanatkan bahwa proses mediasi harus dilakukan dengan konsekuensi putusan menjadi batal jika tidak melalui prosedur mediasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan revisi terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, terutama terkait ketentuan tentang kehadiran para pihak dalam sidang mediasi yang sebelumnya bersifat opsional, kini menjadi wajib. Namun, pengecualian tetap diberlakukan sesuai dengan kondisi, seperti pada pihak yang tidak diketahui keberadaannya. Selain itu, mediator juga harus meningkatkan perannya dalam menyelenggarakan kaukus bagi para pihak yang masih memiliki potensi untuk mencapai kesepakatan. Pengadilan Agama juga perlu terus melakukan evaluasi, perbaikan, dan pelatihan terhadap hakim mediator untuk meningkatkan kemampuan dalam menyelesaikan perkara. Di sisi lain, para pihak, khususnya suami dan istri, perlu lebih memahami tujuan dan nilai-nilai yang luhur dalam perkawinan sesuai dengan jaran Agama Islam.(**)

 

Penulis : Lisda Nopita

Mahasiswa UBB Fakultas Hukum