Opini
Oleh : Dwi Haryadi
Dosen Fakultas Hukum UBB
IBU pertiwi kembali berduka. Saudara kita, 44 warga binaan menjadi korban kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Penyebab utama kebakaran sedang dalam proses penyelidikan kepolisian. Dugaan sementara adalah konsleting listrik. Sementara, Pak Menteri Hukum dan HAM dalam keterangannya menyampaikan masalah klasik dunia Lapas kita yakni overkapasitas. Ibarat truk yang muatannya melebihi beban berat seharusnya, potensi terjadi kecelakaan sangat besar dengan dampak yang tentu juga lebih besar juga.
Over Criminalilation
Tentu ada banyak faktor penyebab kenapa Lapas selalu penuh. Pertama, over criminalilation. Dalam formulasi peraturan perundang-undangan sanksi pidana yang sifatnya ultimum remidium atau obat/sarana terakhir justru dalam kebijakan legislasi kita semakin menebar jaring pidana. Padahal sifat pemidanaan adalah menderitakan, diantaranya melalui pidana penjara. Ibarat masakan, pidana penjara seperti garam yang selalu harus ada dalam pembuatan undang-undang.
Di KUHP sendiri dalam Buku 2 tentang kejahatan dan Buku 3 tentang pelanggaran, ancaman pidananya didominasi dengan penjara atau kurungan. Jikapun ada pidana denda, maka dialternatifkan dengan pidana penjara. Artinya potensi ketok palu hakim pada penjara sangat terbuka lebar. Sebagian bahkan dikomulatifkan dengan sanksi denda. Okelah KUHP kita sebagai warisan kolonial Belanda yang sudah publis dari abad 17 dimana tujuan pemidanaan masih didominasi dengan teori pembalasan.
Dimana pelaku kejahatan masuk penjara menjadi cara membalas perbuatannya agar ada efek jera sekaligus jadi solusi mengurangi angka kriminalitas dengan membatasi ruang geraknya dimasyarakat. Namun faktanya penjara semakin penuh diisi oleh pendatang baru atau justru residivis. Artinya relevansi penjara penuh dengan kriminalitas berkurang tidak menemukan titik temu tetapi justru titik buntu. Kriminalitas yang multikausa tidak bisa diputus matarantainya hanya dengan memenjarakan pelaku, karena sebab-sebab kejahatan itu justru berada diluar penjara, yakni sosial ekonomi.
Minim Varian Sanksi
Sebenarnya sistem sanksi pidana kita menganut double track system, yakni sanksi pidana dan tindakan. Memang sudah ada sanksi tindakan mulai tersebar diberbagai undang-undang. Namun tidak banyak dan itupun dengan varian yang minim. Besar harapan, sanksi tindakan menjadi alternatif mengurangi penuh sesaknya lembaga pemasyarakatan. Butuh riset untuk melihat seberapajauh sanksi tindakan diberikan dan bagaimana efektivitasnya dalam mencapai tujuan pemidanaan.
Penting melakukan komparasi dengan kebijakan sistem sanksi dibeberapa negara lain guna menambah alternatif varian sanksi yang proporsional dengan tindak pidana yang dilakukan. Barda Nawari Arief mencontohkan, di Denmark ada yang dikenal dengan semi-liberte dimana narapidana yang dijatuhkan pidana 6 bulan atau kurang diberi kesempatan untuk menjalani pidana diluar lembaga penjara. Awalnya semi-liberte menjadi jenis pidana penjara malam hari dimana tahanan kembali kepenjara sore hari setelah bekerja. Tentu penerapan sanksi ini ada syarat dan pengawasan ketat. Alternatif lainnya kerja sosial atau pemenuhan kewajiban adat sebagaimana sudah tercantum dalam RUU KUHP. Faktor penyebab penjara penuh, disamping over criminalilation dan minimnya varian sanksi di atas tentu masih banyak lagi, seperti terbatasnya media penal, pro kontra hak remisi, mindset penjara sebagai satu-satunya tempat atau balasan yang setimpal sebuah kejahatan. Termasuk pandangan bahwa pelaku harus dijebloskan kepenjara karena berbahaya, kuatir pengulangi perbuatan dan argumentasi lainnya yang justru jauh dari semangat resosialisasi.
Tokyo Rules
Standard Minimum Rules (SMR) untuk tindakan-tindakan non costudial sudah hadir dipenghujung tahun 1990 sebagai hasil dari kongres PBB ke-8 mengenai The Prevention of crime and the treatment of offenders. Pertimbangan SMR antara lain, pertama perlunya mengembangkan strategi lokal, nasional, regional dan internasional dibidang pembinaan pelaku tindak pidana yang bersifat non-institusional. Kedua, alternatif pidana penjara menjadi sarana efektif untuk pembinaan pelaku tindak pidana dan keuntungan bagi masyarakat. Ketiga, pembatasan kemerdekaan hanya dapat dibenarkan dilihat dari sudut keamanan masyarakat, pencegahan kejahatan, pembalasan yang adil dan penangkalan, dan tujuan utama dari sistem peradilan pidana adalah reintegrasi pelaku tindak pidana kedalam masyarakat. Keempat, meningkatnya populasi penjara dan semakin padatnya penjara merupakan faktor yang menimbulkan kesulitan penerapan SMR.
Keempat pertimbangan di atas menuntut kita untuk memprioritaskan strategi pembinaan narapidana yang bersifat non-institusional, mencari alternatif varian sanksi yang efektif selain penjara, kembalinya narapidana kemasyarakat menjadi tujuan utama pemidanaan dan terakhir penuhnya penjara justru menghambat SMR. Artinya kebijakan menambah jumlah penjara dengan alasan over kapasitas tidaklah selalu tepat. Beberapa varian alternatif sanksi yang direkomendasikan oleh SMR seperti saksi lisan (verbal sanction), pelepasan bersyarat, sanksi ekonomi, ganti rugi kepada korban, pidana bersyarat, pengawasan, penahanan rumah, dan lain-lain.
Semoga SMR mendapat perhatian serius kita bersama, terkhusus dalam legislasi peraturan perundang-undangan kedepan. Tidak kembali latah memasukan penjara sebagai sanksi, tanpa ada fleksibilitas alternatif varian sanksi lain sesuai dengan perbuatan pidananya. Kita berdoa agar semua korban meninggal dalam tragedi kemanusian di Lapas Tangerang dapat ditrima disisiNYA, dan yang masih dirawat dapat lekas sembuh. Kita berharap ini jadi tragedi terakhir dan penyelidikan segera menemukan titik terang, sehingga ada pihak-pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum atau minimal secara moral. Mengingat tempat yang terbakar ini milik negara yang beroperasi atas kebijakan-kebijakannya dengan tujuan mulia untuk membina warga binaan yang hak asasinya juga wajib dilindungi negara. (**)