Oleh: Rudi Sahwani
Pemimpin Redaksi
JAKSA Agung RI sepertinya belum bersedia menghentikan kegegeran di tanah air. Setidaknya dalam sebulan ini, Jaksa Agung ST. Burhanuddin membuktikan mentalitas Adhiyaksa yang tidak kompromis terhadap segala bentuk KKN yang terjadi di negeri ini.
Masih hangat aksi Kejagung mencokok Alex Nurdin dalam dugaan korupsi bernilai ratusan miliyar, Kejagung kembali bikin publik bergairah.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak SH MH dalam siaran pers, Kamis (28/10/21) mengatakan bahwa Jaksa Agung membuka kemungkinan mengganjar hukuman mati bagi Koruptor.
“Perkara Jiwasraya menyangkut hak Orang banyak, para pegawai dalam jaminan sosial. demikian pula Perkara Korupsi di ASABRI terkait dengan hak seluruh Prajurit, di mana ada harapan besar untuk masa Pensiun dan untuk masa depan Keluarga mereka di Hari Tua. Oleh karena itu, Bapak Jaksa Agung sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati, guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud. Tentunya penerapannya harus tetap memperhatikan hukum positif yang berlaku serta nilai-nilai Hak Asasi Manusia,” ujar Kapuspenkum Kejagung RI dalam siaran pers nya.
Jika disimak, dari apa yang disampaikan tersebut dipetik beberapa pesan yang tidak hanya ditujukan kepada para koruptor, akan tetapi juga kepada jajarannya di tingkat Kejati hingga Kejari. Kepada para koruptor, Jaksa Agung menyampaikan pesan bahwa pernyataan perang terhadap segala bentuk tindakan koruptif. Kerena peluang eksekusi mati sudah menjadi opsi bagi para pelaku perusak tatanan dan keuangan negara.
Publik tanah air pun gegap gembita atas statement ST. Burhanuddin tersebut. Meskipun ICW masih menanggapi pernyataan Jaksa Agung tersebut masih sebatas retorika beraroma simpati politis. Mengingat beberapa tahun belakangan para koruptor diperlakukan dengan sangat toleran terhadap hak hak asasinya.
Namun setidaknya pesan tersebut tetap harus direspon positif dan progresif oleh jajarannya di tingkat Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Negeri. Bahwa tidak ada celah keberpihakan terhadap pelaku korupsi apalagi kompromis. Karena hingga hari ini korupsi masih merupakan kejahatan luar biasa.
Kembali ke Bangka Belitung, akankah statement dari Jaksa Agung tersebut menjadi pemicu atau atau akselerasi segera memberikan keterangan kepada publik. Pasalnya hingga hari ini sudah lebih dari 3 bulan proses penyelidikan yang dilakukan oleh pihak Kejati Babel. Namun seolah perkara tersebut terendapkan tanpa ending. Padahal pemeriksaan telah dilakukan, bahkan berbagai pengakuan dalam BAP para terperiksa sudah dikantongi. Namun hingga kini nasib perkara gratifikasi tersebut senasib dengan dugaan korupsi ROW PLN atau pun laporan LSM Warna soal dugaan pengaturan lelang dana SMI.
Bahkan JA, Kepala Dinas yang merupakan salah seorang terperiksa dugaan gratifikasi fee 20 persen di Dinas PUPR, sempat mendapatkan kesempatan melakukan peletakan batu pertama pembangunan kantor jaksa koordinator di komplek kantor Kejati Babel. Tak hanya itu, JA bahkan sempat mengikuti lelang jabatan di Pemprov. Babel. Padahal pihak Pansel membuat persyaratan yang menyebutkan terperiksa hukum tak bisa mengikuti lelang jabatan.
Situasi ini terasa kontras, di satu sisi Jaksa Agung mulai meng-upgrade level perang nya terhadap korupsi, sementara di Babel, Kejati masih belum menunjukkan vibrasi yang sama seperti Jaksa Agung dalam berhadapan dengan pelaku KKN, semetara Kejati Babel masih bergeming dalam beberapa dugaan korupsi dan gratifikasi yang selayaknya sudah bisa memberikan keterangan akhir dari pekerjaan penyidikan yang dilakukan.(*)