,

Dialektika Dalam Persepsi Regulasi Korupsi 50 Juta Tanpa Dipidana ?

oleh -
oleh

EFEKTIFKAH ketika regulasi korupsi dibawah 50 juta tidak perlu dipidana? , Dalam segi poitifistiknya Semangat dan Terobosan Jaksa Agung bersama kejaksaan dalam rangka mengusut kasus kasus besar seperti kasus korupsi jiwasraya dan asabri merupakan suatu hal yang bisa dikatakan baik, kemudian memperluas ranah kejaksaan dengan UU yang baru terutama tugas tugas intel di dalam pasal 30 B. Semangat untuk mengatasi perkara di Mahkamah Agung juga Kejaksaan dapat dinilai bagus dari segi nilainya, namun semangat beliau tentunya harus tidak bisa lepas dari bingkai hukum di Negara Indonesia. Bagaimanapun dengan frasa dan diksi yang ada di Pasal 8 ayat 4 tersebut dimana jaksa dalam melaksanakan tugasnya haruslah bertindak berdasarkan Hukum dan Hati Nurani, hal ini lah yang menjadi dasar kritis saya terhadap terobosan yang disampaikan oleh jaksa agung pada rapat kerja komisi III DPR RI pada Januari 2022 kemaren.

Tentunya untuk membuat suatu terobosan menjalankan tugas kita harus berpegang pada Hukum, karena diatur dalam Pasal 1 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia dimana Indonesia merupakan Negara Hukum, yang dimana konsekuensinya adalah semua aparatur Negara terhadap Hukum. Kemudian menitik balik kepada wacana beliau terhadap penanganan kasus tindak pidana korupsi dibawah 50 juta hanya dibebankan untuk membayar kerugian Negara tersebut sesuai dengan nilai kerugian dan tidak dipidanakan, karena guna menjalankan penanganan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, tentu tak dapat diterima oleh akal , karena tentunya setiap korupsi tak dapat di selesaikan dengan kompromi yang hanya sebatas membayar kembali kerugian Negara sesuai dengan jumlah korupsi dibawah 50 juta , seakan-akan aturan ini meremehkan korupsi dibawah 50 juta , dan dapat dilihat tidak adanya ketegasan dan tidak memberikan efek jera kepada si pelaku.

Tentu jauh dari kata jera, aturan ini malah sebaliknya, yaitu memberikan peluang selebar selebarnya  bagi kepala desa yang kemudian terangsang untuk melakukan korupsi dibawah 50 juta , karena melihat begitu banyak cela yang ada di aturan tersebut. Pada akhirnya, akan muncul dan bertebaran kasus kasus korupsi di daerah daerah dibawah 50 juta , yang akhirnya terbesit didalam diri mereka, akan mencoba untuk korupsi dibawah 50 juta , yang nanti pada akhirnya kalaupun diketahui oleh pihak berwenang, mereka hanya perlu untuk mengembalikan uang tersebut dan dak mendapat sanksi apapun dari pemerintah, dan akhirnya membuat mereka akan terus terusan melakukan hal tersebut.

Dalam Rapat Kerja yang dilaksanakan bersama DPR RI Komisi III dengan Jaksa Agung tentu memiliki prinsip yang penting yang dimana jikalau ada perkara pidana terlapor dan pelapor dapat diselesaikan melalui restorative justice yang tentu penyelesaiannya harus digaris bawahi, tidak boleh adanya tekanan ataupun paksaan dan harus didasari oleh musyawarah. Namun lain halnya jika ingin diterapkan di dalam kejahatan luar biasa yang ada di Indonesia seperti Korupsi, Narkoba, dan Terorisme, Khusus Korupsi sendiri merupakan ordinary crime yang sungguh aneh ketika korupsi dapat diselesaikan dengan cara restorative justice, walau jaksa memiliki kewenangan dimana dalam pasal 35 c uu kejaksaan, jaksa dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, namun sekarang bagaimana cara jaksa dapat mengeskploitasi kepentingan umum yang ada di dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi dibawah 50 juta di desa desa, dan dapat dikatakan bahwasannya untuk penanganan tindak pidana korupsi dibawah 50 juta hanya sebatas dibebankan untuk pengembalian kerugian Negara tentu tidak akan efektiv ketika diterapkan di dalam masyarakat nantinya.

Lalu ketika kita Berbicara terkait Konotasi Regulasi diatas dengan 3 aspek utama Tujuan Hukum yang berlaku di Indonesia. Tentu kita harus memahami terlebih dahulu apa saja 3 aspek tersebut, yang pertama ialah Keadilan, yang dimana suatu Regulasi tentu harus memberi Keadilan di setiap bunyinya bagi setiap elemen elemen masyarakat yang nantinya akan merasakan dampak dari regulasi tersebut, kedua ialah Kemanfaatan, tentu saja dalam setiap regulasi yang ada selalu ada manfaat di dalamnya, baik itu untuk mengubah orang lain ke jalan yang lebih baik, dan lainnya , kemudian yang terakhir ialah Kepastian Hukum, baik dalam regulasi apapun setiap dibentuknya aturan haruslah memberikan Kepastian Hukum karena kita merupakan Negara Hukum.

Dalam wacana jaksa agung terkait aturan tindak pidana korupsi dibawah 50 juta untuk tidak dipidanakan tentu memiliki sisi positif dan negatifnya, jika kita lihat dari aspek keadilan, tentu seorang koruptor yang melakukan korupsi mau itu 10 juta 50 juta bahkan 1 rupiah pun, tindakan tersebut tentunya merupakan tindak kejahatan yang tercela yang sudah pantas dan harusnya mendapat sanksi dan di pidanakan secara adil, karena ketika seorang pelaku tindak kejahatan yang telah merugikan Negara tidak mendapat sanksi atau diadli maka akan menimbulkan ketidakadilan bagi yang lainnya, karena akan mendorong mereka yang tadinya tidak terpikirkan untuk melakukan korupsi setelah melihat kasus diatas maka mereka akan melakukan korupsi dibawah 50 juta karena merasa tak adil jika seseorang bisa melakukan korupsi tanpa dipidana artinya yang lain pun bisa.

Kemudian dinilai dari aspek kebermanfaatannya, tentu memiliki manfaat bagi hakim karena akan mengurangi tumpukan kasus yang ada di mahkamah agung karena konsep yang diterapkan yaitu cepat, sederhana, dan biaya ringan , namun sayangnya konsep ini hanya dapat diterapkan di lingkungan Hakim dan tidak berlaku di ranah Kepolisian dan Kejaksaan. Namun sayangnya masih banyak cela dalam aturan yan diajukan tersebut, yang pertama memberi cela kepada pelaku pelaku korupsi dalam pasal 2 ayat 4 uu pokok kekuasaan kehakiman diamana seperti yang dikatakan tadi dalam pelaksanaanya proses cepat dan sederhana hanya ada dalam ranah kehakiman. Kemudian yang kedua yaitu ketika ingin meringankan kepala desa yang terkena kasus namun karena kelalaian adminitrasi, ada pada pasal 5 uu pokok kekuasaan kehakiman uu no 48 tahun 1999, Hakim diberi kebebasan untuk menggali rasa keadilan yang ada di tengah masyarakat, Perlu digaris bawahi wewenang ini hanya dapat dilaksanakan oleh Hakim. Kemudian aturan ini dinilai masih kurang memberikan manfaat positif bagi keberlangsungan penengakkan hukum yang ada di Indonesia.

Terakhir, yaitu Dalam aspek ketidakpastian Hukum, dalam Pasal 4 UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Tipikor telah menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Pengembalian kerugian seharusnya hanya menjadi salah satu faktor yang meringankan pelaku dalam proses pemidanaannya. Namun hal ini merupakan kebalikan dari apa yang disampaikan oleh jaksa agung pada saat rapat kerja di DPR RI Komisi III Beliau mengatakan bahwasannya Tindak pidana Korupsi dibawah 50 juta tidak perlu dipidanakan, mereka hanya perlu mengembalikan kerugian Negara , hal ini tentu dapat dinilai bertentangan dengan bunyi pasal di atas , yang artinya belum memberikan kepastian hukum untuk dapat terealisasikan di tengah maskyarakat. Ketika aturan ini dibentuk maka haruslah dapat menjalankan ketiga aspek tersebut, dan ketika aspek tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, artinya ada cacad hukum ada di dalam aturan tersebut.

Oleh : Yosua Sandi Rajanta Sembiring

Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.